Kemeriahan Pawai Ogoh-ogoh di Tangerang Selatan
Pura Parahyangan Jagat Guru menyelenggarakan Pawai budaya dan ogoh-ogoh dalam menyambut Hari Raya Nyepi. Pawai ini diadakan sebagai bagian dari upaya untuk merawat dan menjaga kerukunan antar budaya.(Foto:dokumen asli)
Menyambut Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1946, Pura Parahyangan Jagat Guru menggelar pawai dan arak-arakan ogoh-ogoh di sepanjang jalan Batam, Nusa Loka, Serpong, Tangerang Selatan, Minggu (10/3). Pawai ogoh-ogoh ini berjalan meriah dan diikuti oleh ratusan umat hindu, hingga menarik ribuan warga untuk menyaksikan pawai tersebut.
Pawai ogoh-ogoh ini dibuka bagi masyarakat umum dan tidak dikenakan biaya untuk mengikuti rangkaian acara tersebut. Jadi, semua agama dan budaya bisa menyaksikan secara langsung kegiatan pawai ini. Acara ini dimulai dari pukul 14.00 sampai dengan 16.00 WIB.
Panitia Pura Parahyangan Jagat Guru tidak hanya menghadirkan pawai ogoh-ogoh saja, tetapi juga mengikutsertakan budaya-budaya lain, seperti reog ponorogo, barongsai, ondel-ondel, dan berbagai macam tarian yang ikut mengiringi pawai ogoh-ogoh tersebut. Hal ini sesuai dengan tujuan diselenggarakannya acara ini.
Dalam kata sambutannya, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Tangerang Selatan, Fachrudin Zuhri mengatakan pawai ogoh-ogoh ini merupakan salah satu upaya merawat dan menjaga kerukunan antar budaya. "Saya sampaikan bahwa, Kelurahan Rawa Mekar Jaya, Kecamatan Serpong, sudah kami tetapkan sebagai kelurahan sadar kerukunan. Maka saya kira, ini yang harus kita juga rawat, kita harus jaga," kata Zuhri.
Pawai ogoh-ogoh ini menghadirkan tiga patung yang memiliki ukuran berbeda. Hadirnya dua patung yang memiliki ukuran kecil dan dinamakan Dwarapala. Dwarapala merupakan dua patung berwujud seram yang biasanya menyambut di sebelah kanan dan kiri pintu gerbang. Patung ini memiliki ekspresi yang cukup unik, yaitu mata melotot, taring panjang dan tajam, dan bibirnya yang tersenyum tipis. Dengan eskpresinya, Dwarapala memiliki kesan ketegasan dan mengisyaratkan peringatan bagi siapa pun agar tidak sembarangan masuk ke tempat yang dimaksud. Dua patung tersebut masing-masing memiliki nama, yakni Nandiswara dan Mahakala.
Adapun patung berukuran raksasa yang menjadi ornamen penting atau utama dalam pawai ogoh-ogoh ini, yaitu patung Sang Kala Bhuta Dengen. Sang Kala Bhuta Dengen sendiri menggambarkan kepribadian Bhuta Kala. Bhu yang artinya alam semesta dan waktu, Kala yang memiliki arti tak terukur dan tak terbantahkan. Patung ini bisa disimpulkan bahwa ia menggambarkan sifat-sifat negatif manusia yang harus dihindari, seperti jahat, culas, iri hati, dengki, dan rakus.
Selama pawai berlangsung, penegen membawa ogoh-ogoh sambil menari, menyanyi, dan menggoyangkan boneka raksasa tersebut. Menariknya dari pawai ini ialah yang membawa ogoh-ogoh tersebut merupakan anak kecil dan anak muda. Pawai ogoh-ogoh ini semakin meriah dengan adanya kumpulan orang yang memainkan gamelan. Tak hanya itu, selama pawai berlangsung, para panitia dari Pura Parahyangan Jagat Guru menggunakan air, kembang api, dan smoke bomb untuk menambah semarak acara.
Namun, dibalik kesuksesan pawai ini, ada Ketut Miko yang merupakan seorang seniman pembuat ornamen ogoh-ogoh. Ia menjelaskan bahwa ogoh-ogoh tahun ini dibuat tidak terlalu besar karena menyesuaikan dengan kondisi dan lingkungan sekitar.
"Beratnya si ga berat, cuma pondasinya yang berat. Gak berat dia (ogoh-ogoh), 1 kwintalan lah," jelas Ketut, dikutip dari tangselpos.id, Minggu (10/3).
Teks: Azizah Soffa Marwah